Kami Tidak Punya Kompetitor

Adityo Pratomo
3 min readDec 16, 2020

--

Photo by Markus Spiske on Unsplash

Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca beberapa pitch deck dari peserta lomba inovasi bisnis di sebuah perusahaan. Menariknya, banyak pitch deck yang menyatakan kelebihan mereka adalah “Kami tidak punya kompetitor, sehingga kami bisa menguasai pasar”.

Ini kemudian membuat saya berpikir, apakah absennya kompetitor berarti kemudian langsung berujung pada penguasaan pasar? Apakah semudah itu?

Saya kemudian merefleksikan perjuangan Labtek Indie di masa awal kami berdiri, lebih dari 8 tahun yang lalu. Saat itu, kami cukup idealis, keras kepala (maklum, masih muda). Kami merasa usaha kami bisa fokus pada menawarkan jasa pembuatan software custom yang menitikberatkan pada interaksi eksperimental (seperti penggunaan gesture badan dengan Kinect, ataupun touch screen custom) yang digabungkan dengan media non-tradisional seperti Augmented Reality ataupun animatronic. Saat itu, kami gemar sekali mengkonsumsi hasil eksperimen di bidang yang sama, di luar sana, berpikir bahwa di Indonesia pasti ada pasarnya. Plus, tidak banyak yang bermain di domain yang sama, minim kompetitor, kami pasti bisa!

Dan memang benar, ada pasarnya. Kami bisa berjalan 2–3 tahun dengan model bisnis dan stack teknologi seperti itu. Namun, yang tidak terbayang di awal, ternyata minimnya kompetitor, berarti kami harus melakukan 2 hal sekaligus:

  • Mengulik teknologi baru secara konstan
  • Mengedukasi pasar tentang value yang diberikan penggunaan teknologi ini dalam rangka memberikan pengalaman baru bagi penggunanya

Poin pertama relatif mudah (karena memang kami hobi ngulik). Poin kedua, ternyata susah sekali. Kebetulan industri yang cukup menghargai ulikan kami adalah industri marketing dan periklanan. Advertising Agency umumnya. Namun ternyata mereka memang terbiasa dengan hubungan klien-vendor dalam budget dan waktu terbatas sekali. Interaksi yang lazim terjadi adalah mereka melihat sebuah video teknologi yang keren di YouTube dan mereka minta kita membuat hal yang sama. Faktanya, sulit sekali untuk bisa menyampaikan dan diterima oleh para klien kita waktu itu kalau yang mereka minta itu butuh waktu eksperimen panjang dan biaya yang tidak murah. Dan bukan salah kliennya juga. Biasanya mereka juga menerima brief dari brand yang menjadi klien mereka dalam waktu yang cukup mepet juga. Sudah seperti itulah industrinya berjalan selama puluhan tahun. Akhirnya, seringkali kita gagal memenangkan project karena angkanya nggak masuk. Ya iyalah, kalau dibandingkan dengan biaya pembuatan video, pasti kalah. Video nggak ada bugnya pula.

Akhirnya kami pun memilih untuk pivot dan menggunakan pengetahuan kami selama ini dalam konteks pengembangan produk digital. Tentu tetap ada edukasi yang harus kami berikan, tapi paling tidak bidang yang ini bisa lebih berkesinambungan karena seringkali ada kaitan langsung dengan alur bisnis klien kami.

Poinnya, apapun bidang yang dipilih, ingatlah bahwa selalu ada aspek edukasi pasar tentang value yang diberikan usaha/produk/jasa kita. Ketiadaan kompetitor, bisa jadi berarti kitalah yang harus membuka lahan dan memberikan edukasi dari nol. Justru dengan adanya kompetitor, klien jadi bisa membandingkan penawaran kita dengan lebih objektif, apple-to-apple, tanpa kita harus mengubah identitas penawaran jadi “apa yang kamu butuhkan”.

Pun demikian, bukan berarti saya mewanti-wanti teman-teman untuk menjauhi domain yang belum ada pemainnya atau menghindari inovasi. Adanya kompetitor justru berarti domain tersebut sudah cukup dipahami pasar, justru selalu ada celah bagi kita untuk melakukan terobosan melalui produk yang lebih mudah, lebih murah dan lebih baik.

Jangan-jangan, ketiadaan kompetitor bisa berarti kita bermain sepakbola sendirian, di lapangan kosong, tanpa ada penonton.

--

--

Adityo Pratomo
Adityo Pratomo

Written by Adityo Pratomo

Currently working as product manager for cloud infra product. Cyclist + Gamer + Metalhead. Also, proud dad and husband.

Responses (2)