Seni Bekerja Remote

Adityo Pratomo
2 min readMar 26, 2018
Meja kerja saya, kadang dipakai kerja, kadang jadi tempat main anak

Ini adalah tahun ketiga saya mengabdi di Labtek Indie, setelah diawali dengan 2 tahun sebagai investor pasif. Menariknya, dalam 3 tahun ini, mayoritas pekerjaan saya lakukan secara remote alias bekerja jarak jauh. Labtek Indie berkantor di Bandung, sementara saya sendiri tinggal di BSD. Namun, ternyata, sebagaimana ada yang bisa berhubungan kasih sayang meski berjauhan, jarak juga bukan menjadi faktor yang mempengaruhi produktivitas saya. Alih-alih, justru ini yang membantu saya untuk bisa menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya.

Beberapa minggu lalu, saya sempat mengobrol dengan istri, ternyata, tidak sengaja, dari situ justru saya menemukan perbedaan paling nyata antara bekerja remote dengan bekerja di kantor: saat bekerja remote, waktu yang digunakan untuk bekerja adalah waktu di mana saya benar-benar duduk dan menyelesaikan pekerjaan. Titik, tidak ada kegiatan lain. Sementara, saat di kantor, bisa saja saya datang jam 8, pulang jam 5, tapi di antara itu pasti ada saja waktu yang tidak benar-benar produktif, misal: ngobrol dengan rekan kerja, mencari cemilan sore, ataupun hal lain.

Perbedaan ini menurut saya, menarik sekali untuk dibahas, karena supaya kerja remote bisa berhasil, perlu ada kedewasaan baik di sisi pekerja maupun organisasi yang mempekerjakan karyawan tersebut. Faktor ini kemudian akan berperan penting dalam menentukan apakah kerja remote memang cocok untuk organisasi dan pekerja-pekerjanya.

Dari sisi pekerja, sudah jelas, waktu kerja yang bisa dibilang accountable, dapat dipertanggungjawabkan adalah saat di mana ia bisa menyelesaikan pekerjaannya. Selain itu, tentu saja sulit untuk bisa membuktikan bahwa ia sudah bekerja. Dalam hal ini, kejujuran serta kemandirian seorang pekerja untuk bisa memotivasi dirinya dalam bekerja meski tidak ada kehadiran fisik dari pimpinannya, menjadi vital untuk dimiliki pekerja tersebut. Kebebasan untuk memilih kapan dan di mana bekerja, perlu dibayar kontan dengan kontribusi yang lebih nyata ketimbang sekedar “eh, hari ini saya masuk kantor , lho.

Salah satu hal yang bisa mendorong kemandirian pekerja tersebut adalah adanya arahan yang jelas serta transparansi komunikasi dari perusahaan. Harapannya, dengan menginstruksikan dengan jelas apa yang ingin dituju perusahaan, alasannya, serta bahkan visi perusahaan dalam 5–10 tahun ke depan, sang karyawan akan turut memiliki simpati serta merasa bahwa kontribusinya akan sangat berarti. Inilah yang kemudian bisa mendorong kemandiriannya dalam bekerja.

Selain itu, dalam pengalaman saya, manajemen yang lebih mikro dan praktikal, seperti memiliki dokumen yang jelas tentang apa saja yang harus dilakukan setiap anggota tim (kami menggunakan Trello untuk ini) akan sangat membantu karyawan untuk mengelola tugas hariannya, sehingga bisa ia selesaikan satu-persatu.

Aspek lain yang turut membantu adalah intensitas komunikasi antara anggota tim. Apapun software yang digunakan oleh sebuah organisasi, pastikan ia memang bisa mengakomodir alur kerja tim, sehingga propagasi informasi antara anggota tim tetap bisa lancar. Jika diperlukan, buatlah SOP penggunaan perkakas ini, sehingga semua orang bisa memiliki cara komunikasi yang seragam. Saya tidak bisa menekankan lebih dalam lagi tentang pentingnya komunikasi yang lancar untuk efisiensi kerja tim yang terdistribusi secara geografis.

Dengan demikian, di era penuh kontektivitas seperti ini, bekerja remote bukanlah hal yang mustahil. Pertanyaannya adalah apakah Anda, organisasi Anda serta karyawan Anda sudah cukup dewasa untuk bisa tetap bekerja dengan baik sembari menikmati kebebasan?

--

--

Adityo Pratomo

Currently working as product manager for cloud infra product. Cyclist + Gamer + Metalhead. Also, proud dad and husband.